Tuesday 3 October 2017

Sepucuk Surat Berdarah


Oleh Abdurrahman Naufal

Tak ada surat ketika saya mengecek kotak pos di depan rumah. Hanya butiran debu dan ranting-ranting patah di dalamnya. 
“Manusia tolol! Tidak punya perasaan! Otak biadab!” Amarahnya tiba-tiba meluap saat proses sesi awal wawancara. Matanya merah. Dengus nafasnya tersengal-sengal.  

“Tenang, Mas. Ambil nafas dulu,” kata saya berusaha mengendalikan suasana.  Gelas langsung saya isi dengan air putih, lalu menyuguhkannya kepada lawan bicara di depan. “Apakah bisa kamu ceritakan dari awal ?”

Dengan sigap ia mengambil gelas dihadapannya, meneguk air putih secara perlahan. Nafasnya mulai terdengar teratur.

“Saya akan mulai bercerita dari awal.”

***

Saya mulai bergabung dengan komunitas sahabat pena sekitar awal tahun 2015. Komunitas tersebut dibentuk atas dorongan teman-teman yang mempunyai hobi sama: berkirim surat melalui kotak pos. Memang kegiatan itu sudah ketinggalan zaman. Tapi menulis surat adalah seni tersendiri untuk saya dan teman-teman.

Tinggal di pedalaman Bogor tidak memungkinkan saya untuk mempunyai kawan di luar daerah. Dari sekian banyak, ada dua kawan terdekat. Ada yang di Pontianak. Ada juga yang di Riau. Peraturan di komunitas sahabat pena tidak boleh memperkenalkan nama asli masing-masing. Hanya boleh menyebutkan tempat daerah tinggal. Ya, jadi saya memanggil kedua kawan itu dengan Riau dan Pontianak.

Kami sering bertukar surat setiap minggu. Bertanya kabar masing-masing. Bercanda mengenai kehidupan yang begini-begini saja, tak ada kemajuan. Tapi saya suka obrolan remeh-temeh itu.
Itu hanya berlangsung sampai pertengahan tahun 2015. Selepas dari itu, mereka tidak ada kabar. Riau hanya mengabarkan satu bulan sekali. Sedangkan Pontianak dua bulan sekali. Alasannya sih, sederhana. Mereka sibuk dengan urusan di tempatnya. Aneh. Beralasan sibuk mendadak, tanpa ada sebab-sebab yang jelas.

Tak ada surat ketika saya mengecek kotak pos di depan rumah. Hanya butiran debu dan ranting-ranting patah di dalamnya.

Namun, menuju bulan akhir tahun—Desember—akhirnya kedua teman saya itu mulai mengirim surat lagi. Di luar surat itu terdapat beberapa bercak darah yang menyelimuti. Bulu kuduk leher saya merinding. Apa isi surat ini ?

Saya membaca surat itu perlahan:

Untuk Bogor,

Maaf sudah lama tidak memberi kabar lagi. Tiga bulan belakangan ini aku memang lagi sibuk. Banyak dari sanak keluarga maupun kerabat yang tewas secara mengenaskan. Mereka dibakar hidup-hidup, tanpa ada alasan yang jelas.

Aku sibuk mengafani mereka satu per satu, lalu menguburnya secara serempak. Karena lahan di sini begitu sempit, apa daya, mereka harus dikubur dalam satu tempat.

Tertanda,

Riau

Ada perasaan rindu, sedih, kecewa dan benci bercampur menjadi satu saat membaca surat itu. Air mata mulai menetes di pelupuk. Tak sabar, pembungkus surat yang satu lagi langsung saya robek untuk melihat surat di dalamnya.


Untuk Bogor, 

Mungkin ini adalah surat terakhir dariku. Tidak tahu apakah aku masih hidup lagi setelah menulis surat ini atau tidak. Yang terpenting aku bisa memberi kabar kepada kau. Pasti kau selalu bertanya-bertanya kenapa tidak pernah dikirimi surat olehku lagi ? Dan aku menjawab dengan alasan “sibuk”.

Maaf, aku berbohong. Sebenarnya aku sibuk bertahan konflik di daerahku. Ayah dan ibu jadi korban. Mereka disandera lalu dibunuh dengan kejam.  Disiram minyak tanah, lalu dibakar korek api. Sungguh tidak punya hati yang manusia-manusia itu.

Mahluk yang mengganggap paling cerdas di bumi. Mahluk yang menganggap punya hati nurani. Ternyata semua itu dusta! Mereka tidak lebih hina dari binatang! Semoga mereka bisa dibalas oleh Tuhan. Semoga di daerah kau tidak seperti di daerahku ini.

Tertanda,

Pontianak
 

3 comments:

  1. Apakah ini memang di buat penulis untuk cerita tidak terselesaikan? Rasanya masih ada mengganjal saat membacanya. Selesaikan,dan lanjutkan .. Sebenarnya apa masalah yang dialami riau dan pontianak, mengapa sampai mereka harus mendapatkan peristiwa seperti itu?

    ReplyDelete
  2. Ini memang cerita dengan ending yang tak selesai. Biarkan pembaca yang menyimpulkan maksud dari tulisan cerpen ini ;)

    ReplyDelete
  3. Idenya bagus Opal, cara lo membuat tokoh kayak Bogor, Riau, Pontianak itu unik dan menarik. Secara keseluruhan cerita gue suka ada nilai-nilai moral yang lo coba sisipkan di dalamnya. Pemilihan katanya sudah bagus. Kritiknya mungkin bisa lebih diperjelas penggambaran tokoh dan konfliknya itu apa karena jujur gue jadi bertanya-tanya sendiri waktu baca.

    ReplyDelete