Maju Kena Mundur Purba. Sumber: Kumparan.com |
Pemerintah
dibuat linglung akan kehadiran transportasi online
yang hadir di tengah masyarakat. Pasalnya, dengan munculnya moda transportasi
terbaru tersebut, pro dan kontra bermunculan.
Munculnya
transportasi online memang menjawab
kebutuhan masyarakat akan transportasi yang mudah didapatkan, nyaman, cepan dan
murah. Dengan bantuan teknologi terkini, masyarakat menjadi lebih diuntungkan.
Terlebih
lagi banyak orang yang mendapatkan pekerjaan sebagai pengemudi online. Mereka bisa memperoleh penghasilan
dari situ, sehingga berdampak cukup luas. Pengangguran di Indonesia bisa
berkurang. Namun, dengan segala kelebihannya, polemik terjadi para pelaku
bisnis transportasi konvensional dengan online.
Banyak dari
konsumen beralih dari kendaraan umum konvensional ke online. Bukan tanpa sebab,
perbedaan fasilitas yang cukup signifikan, membuat transportasi konvensional
kalah saing. Mereka para pengemudi konvensional, mengaku bahwa pendapatannya
menurun drastis.
Seperti
dilansir dalam Rappler.com, Suwardi,
salah satu supir taksi Blue Bird,
mengatakan bahwa pendapatannya turun drastis dengan adanya ojek online. Dari yang biasanya mendapatkan
Rp. 300 ribu per hari, kini hanya Rp. 150 ribu hingga Rp. 200 ribu.
Uang
tersebut juga hanya bisa disetor kepada perusahaan, tidak ada komisi untuk
dibawa pulang, tuturnya.
Merasa tidak
mendapat keadilan, unjuk rasa tak dapat dihindarkan. Pada Hari Senin 14 Maret
2017, Pengemudi konvensional mogok kerja dan demo di depan istana menuntut agar
transportasi online diberhentikan.
Dalam demo tersebut sempat terjadi kerusuhan. Sebuah mobil Toyota Avanza
berwarna hitam dirusak olah para demonstran. Mobil tersebut ternyata pengemudi
Grab yang tertangkap basah sedang mengantar penumpang di tengah aksi unjuk
rasa.
Akhirnya
transportasi berbasis aplikasi mendapatkan pelarangan beroperasi. Tanggal
6 Oktober 2017, Dinas
Perhubungan Jawa Barat resmi melarang transportasi online, baik roda dua maupun roda empat, untuk beroperasi.
Pelarangan
itu berdasarkan laporan-laporan dari para pelaku usaha transportasi
konvensional yang resah. Dalam kesepakatan bersama itu, Pemda Jawa Barat
menyatakan dukungan atas aspirasi Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi (WAAT)
agar transportasi online tidak
beroperasi sebelum diterbitkannya peraturan baru.
Namun,
aturan tersebut ternyata mendapatkan protes dari masyarakat. Warga Jawa Barat
(Jabar) membuat dan mendukung petisi menolak larangan transportasi online. Petisi ini diajukan menyusul
rencana kebijakan Pemprov Jabar yang melarang transportasi online karena desakan dari para sopir Angkot yang mengancam mogok.
Seperti
dilansir dalam laman Kumparan.com, sebenarnya
petisi ini, petisi lama yang diperbaharui, terlihat dari keterangan di kolom
komentar. Petisi ini sudah ada sejak Maret 2017 lalu. Beberapa waktu lalu
Pemprov Jabar memang sudah berencana akan melarang transportasi online.
Pemerintah
sekarang mendapatkan posisi yang serba salah. Meminjam kata kiasan dan
memplesetkan sedikit: “maju kena, mundur purba”. Kemajuan teknologi tranportasi
online dianggap salah oleh sebagian
pihak. Jika tetap menggunakan kendaraan konvensional dan menolak transportasi
berbasis aplikasi, masyarakat seperti “manusia purba”.
Sumber:
Kompas.com